Mari
kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan
Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara
daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung,
legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk
makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala,
datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula
kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu
putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini
di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati
di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang
basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu
di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat,
legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga
bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur,
kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan
serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima
mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk
hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa,
datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu
singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu
janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di
wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu
balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di
tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu
bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat
bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi
dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut
di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar,
sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin
Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan.
Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan
Selatan.
Legenda "Kandangan Cingai"
Kalimat sastrawan Inggris itu, William
Shakespeare, tidaklah salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam
konstalasi kehidupan, nama, tenyata turut merumuskan sesuatu yang amat
intim dengan keberadaan: identitas pembeda antara yang satu dengan yang
lain, termasuk dalam soal wilayah atau komunitas tertentu.
Dengan mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, seseorang pada dasarnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan diri. Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri. Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman. Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan? Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat. Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya. Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.
Kendati diperlukan penelusuran lebih jauh, mitologi urang dalam kandang itu terlihat lebih pas dengan karakter urang Kandangan.
Tapi apa sih? Perlunya memunculkan lagi mitologi yang telah terkubur daun-daun waktu ke milineum ketiga ini? Apakah ingin membangun oposisi etnik di tengah nganga jurang disentegrasi bangsa sekarang ini? Sama sekali tidak. Refleksi mitologi itu sekedar menolehi modal dasar yang dipunya oleh urang Kandangan dalam merenda masa depan. Mitologi itu menunjukkan juriat, juriat urang Kandangan. Dan persoalan juriat adalah persoalan akar yang terhunjam dalam: akar budaya yang membentuk eksestensi seseorang atau sekelompok orang yang menyebut diri sebagai urang Kandangan.
Dari akar budaya tersebut lahir beragam ujaran datu nini yang kemudian menjadi patok nilai-nilai tradisi urang Kandangan. Misalnya, kita bakulawarga kada wayah katam haja; pacah sabuku pacah sakataraan; lamun bakawinan kada sarana disaru aku tapi lamun bakalahian habari-ha; menunjukkan kentalnya citra kebersamaan. Kebersamaan tidak cuma muncul pada saat-saat basuka-barami (dilambangkan dengan wayah katam atau bakakawinan), tetapi juga pada saat-saat susah, bahkan pada saat panyawaan menjadi resikonya (dilambangkan dengan pacah sakataraan atau bakalahian). Modal kebersamaan semacam itu merupakan harta waris yang seyogyanya dijaga barataan, terlebih dalam mencermati dan menyikapi era otonomi daerah ini. Tanpa kebersamaan maka kayuhan perahu otonomi daerah di tengah laut berbadai, seperti sekarang ini, rasanya sukar, atau bahkan mustahil dilakukan. Tapi citra kebersamaan tidaklah sesempit pengertian unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati lamun kauyuhan jukung ampah manumbuk ambul.
Maka dengan modal kebersamaan, parigal otonomi daerah bukanlah hal yang perlu ditakutkan.
Kandangan Cing-ai! Banua kami nang rakat mupakat matan datu-nini
Dengan mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, seseorang pada dasarnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan diri. Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri. Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman. Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan? Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat. Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya. Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.
Kendati diperlukan penelusuran lebih jauh, mitologi urang dalam kandang itu terlihat lebih pas dengan karakter urang Kandangan.
Tapi apa sih? Perlunya memunculkan lagi mitologi yang telah terkubur daun-daun waktu ke milineum ketiga ini? Apakah ingin membangun oposisi etnik di tengah nganga jurang disentegrasi bangsa sekarang ini? Sama sekali tidak. Refleksi mitologi itu sekedar menolehi modal dasar yang dipunya oleh urang Kandangan dalam merenda masa depan. Mitologi itu menunjukkan juriat, juriat urang Kandangan. Dan persoalan juriat adalah persoalan akar yang terhunjam dalam: akar budaya yang membentuk eksestensi seseorang atau sekelompok orang yang menyebut diri sebagai urang Kandangan.
Dari akar budaya tersebut lahir beragam ujaran datu nini yang kemudian menjadi patok nilai-nilai tradisi urang Kandangan. Misalnya, kita bakulawarga kada wayah katam haja; pacah sabuku pacah sakataraan; lamun bakawinan kada sarana disaru aku tapi lamun bakalahian habari-ha; menunjukkan kentalnya citra kebersamaan. Kebersamaan tidak cuma muncul pada saat-saat basuka-barami (dilambangkan dengan wayah katam atau bakakawinan), tetapi juga pada saat-saat susah, bahkan pada saat panyawaan menjadi resikonya (dilambangkan dengan pacah sakataraan atau bakalahian). Modal kebersamaan semacam itu merupakan harta waris yang seyogyanya dijaga barataan, terlebih dalam mencermati dan menyikapi era otonomi daerah ini. Tanpa kebersamaan maka kayuhan perahu otonomi daerah di tengah laut berbadai, seperti sekarang ini, rasanya sukar, atau bahkan mustahil dilakukan. Tapi citra kebersamaan tidaklah sesempit pengertian unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati lamun kauyuhan jukung ampah manumbuk ambul.
Maka dengan modal kebersamaan, parigal otonomi daerah bukanlah hal yang perlu ditakutkan.
Kandangan Cing-ai! Banua kami nang rakat mupakat matan datu-nini
Kisah Masjid Banua Lawas
Mesjid Pusaka Banua Lawas |
Mesjid Pusaka Banua Lawas terletak di Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, INDONESIA
Masjid Pusaka Banua Lawas didirikan oleh Khatib Dayan bersama-sama
dengan Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Datu Sri Panji, Datu Rangganan
dan datu lainnya yang telah memeluk agama Islam pada tahun 1625 M
bersamaan dengan pendirian Masjid Pusaka Puain pada tahun itu juga dan
pada saat itu Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Inayatullah.
Dilihat dari namanya, kemungkinan Datu Sari Nagara dan Datu Sri Panji
sebelumnya memeluk agama Hindu. Menurut informasi, Masjid Pusaka Banua
Lawas dipugar pada tahun 1669, 1769, 1791,1848,1932, dan terakhir tahun
1999 dan 2003 oleh Direktorat Linbinjarah.
Dibelakang masjid terdapat tumpukan batu bata yang berada di sela-sela
makam kuno yang hingga kini belum diketahui apakah merupakan bekas jirat
sebuah makam ataukah bekas reruntuhan bangunan pemujaan di masa
lampau.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang "dikeramatkan" itu, selain
menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah
diterimanya Islam bagi suku Dayak di Tabalong. Di teras depan Masjid
Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya
digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati
diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai
400 tahun itu tak berubah warnanya. Masjid ini ramai dikunjungi atau
diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, masih
tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm
![]() |
Halaman Depan Mesjid Pusaka |
Dahulu di daerah Banua Lawas ini sudah tinggal dan bermukim para suku
dayak / suku manyan, dan disitu sudah berdiri semacam pesanggrahan atau
tempat pemujaan kepercayaan Kaharingan suku Maanyan dalam bentuk yang
sederhana. Tempat pemujaan itu dianggap sakral, dan manfaatnya terasa
sangat penting bagi orang-orang Maanyan yang pada masa itu banyak
bermukim di Banua Lawas.
Mereka kemudian menyebut daerah lokasi bangunan pemujaan tersebut
sebagai Banua Lawas atau Banua Usang. Suatu kemungkinan menunjukkan
bahwa aktivitas masyarakat, kemunculan, dan berkembangnya daerah-daerah
lain di sekitarnya berawal dari Banua Lawas ini.
![]() |
Makam penghulu Rasyid disamping Mesjid |
Kabar lisan yang berkembang di Banua Lawas menyebutkan bahwa sebagian
orang-orang Maanyan menyingkir karena mereka tidak bersedia menerima
Islam sebagai agama mereka. Tetapi kemungkinan lainnya adalah berkaitan
dengan para imigran pelarian dari Jawa yang datang akibat kerusuhan
politik di daerah asalnya dan mendirikan kerajaan baru di pulau Hujung
Tanah bernama Negara Dipa.
Legenda KALUA dan HINTALO
Kalau Amuntai terkenal dengan Itik
Alabio nya, kalau Barabai terkenal dengan Apam Barabainya, Kalau
Kandangan teh terkenal dengan Dodol nya, lain lagi dengan Kalua,dalam
episode ini Kelua terkenal dengan Hintalo, napang garang maka Hintalo
lah.....?
Kalau orang yang belum tahu, maka akan bingung, kanapa maka Kelua terkenal dengan Hintalo.
Kalau Amuntai ulih jua banyak orang bagaduhan itik di Alabio, sampai
ribuan nang bagaduh di situ, ngintu pang nang maulah terkenal amuntai.
sampai-sampai ada patung itik raksasa di kota amuntainya. parak jumbatan
Paliwara.
Kalau di Barabai terkenal lawan Apamnya karena Apam Barabai
nyaman-nyaman dan banyak dijual di daerah-daerah Barabai dan sekitarnya.
Kalau Kandangan teh banyak orang nang bajual Dodol Kandangan di pinggir
jalan rayanya, amun bajalanan ka Kandangan kada langkap bila kada bulik
karumah kada mambawakan Dodol Kandangan, ngintu pang nang maulah
Kandangan terkenal se antiro ....
Namun Kalua terkenal lawan hintalo?? , Rupanya talusur dami talusur,
sakalinya orang Kalua ne sakti-sakti, harat-harat dan hapuk-hapuk
orangnya, orang kalua ngini kawa mamanjangakan hintalo, Bubuhan Kalua
kawa mamanjangakan hintalo sampai 1 meter. hintalo napa haja kawa
dipanjangkan, hintalo itik, hintalo ayam, hintalo bidawang kah tatap
orang kalua kawa mamanjangakan, Para pakar Teknologi Dunia nang kaya
Orang Jerman, orang Amerika lawan orang Japang haja kada kawa
mamanjangakan hintalo jadi 1 meter nang kaya orang kalua, Mun kaitu
jakanya orang kalua ne masuk Rekor Indonesia pang / dapat penghargaan
dari MURI, bahkan amun perlu masuk rekor dunia GUEN'S OF THE WORLD,
Setelah orang luar negeri meniliti lebih jauh, sakalinya lain hintalo
nya nang nang bapanjang secara fisik, hintalonya tatap kakaitu haja
panjang nya, tapi sambatannya haja sakalinya nang bapanjang 1 meter,
amun dari segi tajwid Al-Qur'an panjangnya menjadi 6 harakat atawa bisa
jua dangarannya maliuk-liuk panjangnya kaya orang Adzan Magrib, malut
banar ujar orang tadih..,,, 

Wajar haja pang orang kalua logat bahasanya panjang dan alunan melayu
nya kental bangat, dikarenakan Kalua taparak lawan Malaysia,
dibandingkan Amuntai, Barabai, dll.
Tapi biar kaitu Bubuhan Kalua kada usah supan dan minder lawan logat
kita, kita tetap cinta tanah air kelahiran kita tercinta, itulah sudah
ciri khas logat orang Kalua nang ditakdirkan oleh ALLAH SWT, Tuhan sang
Pencipta menciptakan manusia dari berbagi Ras, Suku, Warna Kulit, Bahasa
dan Logatnya yang berbeda-beda, karena perbedaan itu adalah keindahan,
semua manusia itu tidak ada yang sempurna dan semua saling memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, kalau kita malihat logat daerah
lain, banyak jua nang modil modil, nang kaya logat orang Amuntai
contohnya, kalau orang Kalua bepander pengucapannya fasih haja manyambat
RRRR , mun orang Amuntai logat orangnya pilat-pilat, RRRR nya batagarrr
kada bisa manyambat RRRR .(^_^) "peace Amuntai, damai ja qita
Kisah Syech Muhammad Nafis
Kubah Syekh Muhammad Nafis Bin Idris atau yang disebut warga Kelua
adalah Kubah Darrun Nafis terletak di sebuah desa kecil yang namanya
adalah Desa Bahungin, Kubah ini sering sekali dikunjungi dan di ziarahi
oleh penduduk sekitar, bahkan dari kota jauh lainnya pun banyak yang
berdatangan ke Kubah Syech Muhammad Nafis ini.
![]() |
Kubah tampak samping |
Dulunya Kubah Syech Muhammad Nafis ini tidak seindah sekarang, bangunan fisiknya hampir keseluruhan terbuat dari kayu, seiring ramainya pengunjung yang berziarah, maka Pemerintah Daerah dan pihak-pihak terkait yang ikut membantu pembangunan ini terus melakukan renovasi berkali-kali, sampai terlaksana seperti sekarang ini (pada gambar).
![]() |
Pintu gerbang masuk Kubah |
![]() |
Makam Syech Muhammad Nafis |
![]() |
Musholla tampak samping |
![]() |
Jalan di Kubah |
Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis
berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke
banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih
mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih
kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah
untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh
Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian
Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan
oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.
![]() |
Surau Kecil tempat do'a selamatan |
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama
syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang
ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara
melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al
Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al
Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan,
Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam
bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan
dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia
masih mukim di Mekkah.
![]() |
Tempat berwudhu |
Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam
Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh
gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya
dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh
Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan
tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang
dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan
kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr
al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al
Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al
Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh
yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya,
serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah....
Pertapaan Pengeran Suryanata

Lokasi Candi Agung Amuntai
MASJID SU'ADA

Masjid Baangkat Ds. Wasah Hilir
BATU BARANAK

MASJID BANUA HALAT

Makam Sultan Suriansyah
Rumah Pejuang Kandangan

Makam Syech M. Nafis

Datu Nafis Kalua
Kubah H. Yahya bin Affan

Makam Guru H. Ijai

Makam Datu Kalampayan

Makam H. Surgi Mufti

Makam Bukhari, dkk

Makam Syarifah Badrun

Makam Habib Hamid (Basirih)
Makam Habib Ali Abu Bakar

Makam Datu Bero

Makam Datu ABulung

Makam Sykeh Aminullah

Makam Datu Janggut Martapura

Makam Syekh Yusuf

Makam Syekh Salman

MAKAM DATU NURAYA

Makam H. Abd. Gani Waringin

Makam Datu Ismail

Makam Datu Sanggul

Makam Abd. Majid bin Abdullah

Makam Datu Harung

Makam Datu Ahmad

Makam Datu Kalampayan

Makam Habib Umar bin Mustafa

Makam Syarif Ali

Makam Habib Ahmad

Makam H. Abdullah

Makam Syekh Zainal Ilmi

Makam Datu Ahmad bin Muhammad

Makam H. Herman bin Hasyim

Makam Datu Amin

Makam Sayyid Abu Bakar

Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat, hikayat, legenda, situs sejarah dan situs prasejarah kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti Situs pemukiman hunian kuno manusia prasejarah di situs jambu hilir padang rasau dan situs jambu hulu sungai tatau, Sang maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang dan raja bagalung kerajaan bakaling, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba di sungai paring dalam, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu ning suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu balimbur serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin, tumenggung mat lima dan tumenggung mat jingga mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di luk loa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais dan datu jaya pati di bamban, datu janggar dan datu janggaran di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam tumenggung kartawedana, datu haji sahid dan datu haji said, datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di ta’al, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan letnan dua Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI oleh pejuang-pejuang kandangan yang banyak tersebar di banua amandit yang dipimpin Brigjend H. Hasan Basery di telaga langsat, karang jawa, jambu, mandapai, padang batung, ni’ih, simpang lima, sungai paring, tabihi, durian rabung, munggu raya dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan kalimantan.
BalasHapusSemuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.
Adakah kisah Datuk Ali Ahmad pandai mang??
BalasHapusAdakah kisah Datuk Ali Ahmad pandai mang??
BalasHapusKenapa kisah datu ali ahmad pandai tidak pernah jekas sejarahnya
BalasHapusApakah ada yg mengetahui kisah DATU DURABU ?
BalasHapusAmpun maaf kula lah..ulun salah satu buyut beliau, handak jua tahu kisah datu Durabu Kalumpang - Kandangan (HSS) KalSel. Semoga ada yg bisa berbagi kisah/riwayat beliau...
HapusAdakah kisah tentang datu durabu kalumpang
BalasHapus